Siapa yang tak mengenal Kiki? Semenjak memenangkan kontes
penyanyi cilik yang ditayangkan sebuah stasiun televisi swasta, nama
Kiki memang semakin terkenal. Penampilan bocah 12 tahun itu telah
memikat jutaan pemirsa terutama anak-anak sebayanya. Namun di balik
kesuksesan Kiki, terdapat kisah sang ayah yang sangat mengenaskan.
Dahulu, ayah Kiki, Marthin Egeten diminta bantuan oleh atasannya untuk membetulkan mesin yang trouble.
“Teman saya waktu itu sempat memberi isyarat
pada saya bahwa ada percikan api yang keluar dari atas. Saya kaget!
Saya tidak bisa berbuat apa-apa sewaktu itu. Refleks, tangan kanan saya
menutup mata saya. Saya bingung bagaimana harus keluar dari situ
sewaktu itu. Saya tidak bisa keluar karena saya tutup mata saya. Dan
api tetap membakar tubuh saya. Saya sudah merasakan kepanasan dan
perih. Api itu tetap mengikuti saya. Saya ke kiri, api itu ke kiri.
Saya ke kanan, api itu ikut ke kanan. Saya pikir saya sudah mau mati.
Karena saya sudah dibuat capek, sudah dibuat lelah oleh api ini. Saya
lari ke sana kemari, saya peluk kabel. Tapi tidak ada aliran listrik
yang membunuh saya. Akhirnya saya pun pasrah begitu saja,” kisah
Marthin bagaimana ia terserang api dan berjuang untuk keluar dari
siksaan api tersebut.
Dalam keadaannya yang sudah tak berdaya, Marthin mengalami sebuah peristiwa yang aneh.
“Saya memejamkan mata, saya mendengar suatu
seruan yang sepertinya keluar dari seorang wanita, ia katakan dan
membangun saya dengan suara yang nyaring. Ia katakan sama saya waktu itu
– ‘Tidak, kamu harus bangun. Kamu harus lawan api itu dan kamu akan
diselamatkan.’ – Setelah saya buka mata saya, saya sudah bisa menangkap
Cahaya. Cahaya terang. Saya kaget sewaktu itu, karena saya sudah
terbaring rapi di depan panel yang terbakar tadi,” lanjut kisah Marthin.
Dalam kondisinya yang setengah sadar, teman-teman Marthin pun kemudian datang dan menolong Marthin.
“Mereka pikir saya sudah mati atau bagaimana
pingsannya, waktu diangkat bagian tangan ini, tangan ini sudah matang,
gosong, kulitnya terkelupas. Saya merasakan tangan, kepala, kaki itu
sudah terpisah-pisah karena saking perihnya itu,” kisah Marthin.
Melihat kondisi luka bakarnya yang sangat
parah, Marthin segera dilarikan ke rumah sakit. Saat istri dan ibu
Marthin tiba, betapa terkejutnya mereka melihat keadaan Marthin. Akibat
tegangan listrik bertegangan tinggi dan sambaran api yang begitu
dahsyat membuat tubuh Marthin bagai seonggok daging asap yang hangus
terbakar.
Setelah menunggu beberapa jam, tiba-tiba sebuah
pernyataan dokter membuat jantung ibu dan istri Marthin seakan
berhenti berdetak. “Lebih baik ibu pulang saja, membereskan rumah,
karena katanya Bapak mungkin sudah tak bisa tertolong lagi. Karena luka
bakarnya sudah stadium 4,” kisah istri Marthin.
Marthin sendiri mendengar perbincangan mereka,
“Mereka pikir saya tidak bisa mendengar, saat itu dalam keadaan pingsan
atau bagaimana. Tapi, saya masih bisa mendengar sewaktu itu. Hati saya
semakin sakit. Karena… itu mengingatkan kembali perkataan saya sama
istri saya bahwa saya akan melakukan tanggung-jawab sepenuhnya. “Kamu
tenang saja,” – itu janji saya sama istri saya.”
Janji yang begitu manis, pupus sudah. Kini
yang tersisa adalah guratan kesedihan dan ketakutan mendalam yang
nampak dalam diri istri dan ibu Marthin.
“Saat itu saya belum siap untuk ditinggal oleh
bapaknya Kiki. Waktu itu Kiki masih kecil, dia butuh seorang ayah.
Memang sewaktu itu di pikiranku, pasti meninggal kan… Karena dari kisah
teman-temannya memang tak akan ketolong lagi. Di hati saya, saya
berdoa – “Tuhan, jika boleh… Tuhan kasih lagi kesempatan kami bersama.
Saya akan terima dia apapun keadaannya,” tutur istri Marthin.
Dalam kondisinya yang kritis, sang ibu
membacakan sebuah kisah menarik kepada Marthin. Dan hati Marthin pun
tersentuh saat mendengarkannya.
“Mama saya membisikkan cerita-cerita bagaimana
Tuhan Yesus dulu punya penderitaan. Dan disitulah saya terkejut dan
terbangun dari kelemahan saya,” kisah Marthin.
Beberapa jam kemudian, Marthin pun menunjukkan
tanda-tanda kehidupan. “Saya mulai memberikan reaksi melalui tubuh
saya. Saya terbatuk, mama saya langsung berteriak. ‘Dia hidup!’- Dan
dokter itupun merasa terkejut ketika ia mulai melihat denyut dan tanda
nadi.”
Setelah Marthin sadar dari keadaan kritis,
beberapa hari kemudian dokterpun langsung melakukan tindakan operasi.
Ada bagian luka dari Marthin yang harus ditutupi dengan daging yang
diambil dari tubuh Marthin sendiri.
Setelah operasi tersebut berhasil, penderitaan
Marthin belum berakhir. Ia mengalami pergolakan batin saat akan
melihat wajahnya sendiri.
“Setiap orang yang datang… pingsan ketika
melihat saya. Saya bingung, sudah separah mana wajah saya, keberadaan
saya waktu itu. Saya menguatkan hati saya, saya minta cermin.
Sebenarnya mama saya tidak mau kasih, tapi saya bilang kalau saya
penasaran. Kok sampai suster saja tidak mau masuk sini?. Saya pun
perlahan-lahan melihat pantulan wajah saya di cermin…” kisah Marthin.
Marthin sangat terkejut melihat wajahnya yang terpantul di cermin.
“Itu sebenarnya sudah bukan orang lagi, itu
sudah tengkorak. Semuanya mulai rata. Yang tinggal hanya gigi dan
mata,” ujar Marthin.
Kecewa dan sedih. Semua bercampur dalam batin
Marthin saat ia melihat wajahnya hancur berantakan. Ia menjadi putus
asa… Sehingga berpikir lebih baik mati saja.
“Karena percuma… Saya bilang sama Tuhan,
‘Tuhan kok tidak adil ya?’ – Setiap saat saya mau keluar, saya selalu
berdoa. Waktu di tempat kerja, kalau ada kesempatanpun saya berdoa,
saya minta Tuhan kalau bisa saya dijauhkan dari malapetaka dari
kecelakaan. Tapi kok tiba-tiba begini… Mengapa Tuhan? Mengapa bukan
orang-orang yang melakukan hal-hal yang lebih jahat lagi? Saya menangis
sambil mengatakan itu…” kisah Marthin.
Belum habis kepedihan batinnya, setiap hari
Marthin harus menahan rasa sakit yang luar biasa saat harus bangun dari
tidurnya. Marthin pun sering mengalami pendarahan sehingga ia harus
sering mengalami transfusi darah agar dapat bertahan hidup.
Belum usai kepedihan Marthin, ia pun
dilingkupi ketakutan akan kepergian sang istri. Bahkan ketika melihat
dokter berbicara dengan sang istri, api amarah berkecamuk dalam pikiran
dan batinnya.
“Dalam keadaan kelemahan itu, terpikir juga
bahwa… hancurlah sudah keluarga kita. Sia-sialah keluarga kita yang
sudah kita bangun bersama pada waktu yang lalu,” pikir Marthin mengenai
keadaan keluarganya yang akan berubah akibat tragedi yang dialaminya.
Pikirnya, kalaupun istrinya ingin meninggalkan
dia, itu adalah hak istrinya. “Tapi jujur dalam hati saya, saya tidak
terima.” Tetapi istrinya sendiri tidaklah seperti itu. “Tak mungkinlah
seenaknya saya cepat-cepat mencari pengganti,” bantah istrinya.
Perawatan selama 1 tahun di rumah sakit
membuat keadaan Marthin semakin baik, bahkan kulit baru mulai muncul di
beberapa bagian tubuhnya. Namun penderitaannya belumlah usai ketika ia
kembali ke rumah. Karena untuk hal-hal kecil pun, Marthin haruslah
selalu membutuhkan bantuan istrinya.
“Saya ini merasa berdosa sekali. Keadaan saya
ini menjadi beban buat mereka semua. Ya, saya tidak bisa melakukan
apa-apa,” tutur Marthin.
Merasa keberadaannya hanya menyusahkan
keluarga membuat semangat hidup Marthin semakin padam. Bahkan saat ia
mencoba memberanikan diri untuk bersosialisasi, sebuah penolakan yang
menyakitkan pun harus ia terima.
“Perasaan takut, perasaan minder itu ada ya…
Saya pernah mencegat mobil, tapi, sampai mobil pun gak mau berhenti.
Dari jauh saya sudah kasih tanda ke angkot, tapi begitu dekat, sopir
itu membuang muka seakan-akan tidak melihat apa-apa. Selama setengah
jam saya berdiri di pinggiran jalan, saya menjadi malu, saya pulang.
Saya merasa sedih sekali,” kisah Marthin mengenai penolakan ketika ia
bergaul di tengah masyarakat.
Bahkan keceriaan dan kegembiraan anak-anak yang
biasanya bermain di depan rumah Marthin berubah menjadi teriakan
ketakutan saat melihat dirinya.
“Lebih baik saya mati saja, kenapa Tuhan
membiarkan saya lagi hidup? Kalau saya harus berhadapan dengan
orang-orang di luar sana yang mungkin merasa takut dan jijik dengan
keberadaan saya,” kisah Marthin.
Namun di tengah keletihan batinnya, Marthin
mencoba untuk menemukan kedamaian yang abadi. “Satu hal yang dia
berikan kepada saya, kini kita tahu sekarang… Bahwa segala sesuatu yang
terjadi, itu adalah campur tangan Tuhan untuk mendatangkan kebaikan
bagi orang yang mengasihi Dia. Sungguh luar biasa perkataan dari nas
itu yang menggembirakan saya, menguatkan saya. Sehingga tadinya saya
merasa tidak berguna lagi dengan apa yang saya alami. Tetapi ketika saya
menemukan kata peneguhan ini, saya merasa berarti. Saya masih berarti
di mata Tuhan.”
Saat itu Marthin mulai menemukan sebuah
harapan baru dalam hidupnya. Bahkan sang istri, mulai membuat Marthin
merasa semakin berharga.
“Yang saya rasakan ketika berada dengan dia…
Apa yang kami alami, apa yang kita lakukan pada masa-masa pacaran
itulah yang terjadi. Seperti ketika dia menggandeng saya ketika kami
berjalan,” kisah Marthin.
Tak hanya perhatian dari sang istri, sang anak
yang waktu itu masih berusia 7 tahun pun menunjukkan kasih sayangnya.
Kiki, selalu mengajak ayahnya untuk pergi keluar bersama. Tetapi
Marthin yang menolak dengan mengatakan bahwa nanti teman-teman Kiki
akan mengejek Kiki jika melihat keadaan ayahnya. Tetapi Kiki tak
menyetujui perkataan ayahnya itu bahkan ia akan marah jika ada
teman-temannya yang mengejeknya dan ayahnya.
Melihat itu, Marthin sangat senang dan
mengucap syukur dengan keluarganya. “Saya tidak malu. Yang penting anak
dan istri saya masih mau mengakui keberadaan saya walaupun keadaan saya
sudah begini.”
Kiki sendiri berkata, “Kiki tak pernah malu
dengan keadaan papa seperti itu. Karena papa itu seperti malaikat yang
selalu membimbing Kiki dan sering mengajarkan yang terbaik buat Kiki.”
“Cinta saya sama suami saya seperti cinta kayak
kami pacaran dulu. Sampai sekarang juga, masih tetap cinta. Tak
berkurang, malahan, dulunya 100 persen sekarang menjadi 200 persen,”
ujar Anitha, istri Marthin.
“Dokter dulu memvonis bahwa saya tidak ada
harapan sama sekali. Namun, mukjizat Tuhan lain. Ketika manusia angkat
tangan, Tuhan turun tangan. Jadi mustahil bagi manusia, bukan mustahil
bagi Tuhan,” tutup Marthin Egeten. (Kisah ini ditayangkan 24 November 2009 dalam acara Solusi Life di O’Channel)
Sumber kesaksian:Marthin Egeten (jawaban.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar