Waktu saya masih kecil, keluarga kami sangat miskin. Sehingga untuk makan, saya sengaja bertamu pada tetangga pada jam-jam makan, berharap mereka mengundang saya untuk makan bersama mereka.
Tumbuh dalam kemiskinan seperti itu membuat kebencian dan amarah tumbuh subur dalam hati saya. Sehingga semuanya itu saya salurkan dengan berlatih tinju secara keras. Tidak lama hasil latihan itu membuat saya mendapatkan medali emas olimpiade kelas berat pada tahun 1968.
Pindah ke jalur profesional, kemarahan dan kebencian membuat saya bagaikan binatang buas menghancurkan siapa saja yang melawan kebanyakan lawan saya KO sebelum ronde ketiga. Rekor 32 kali menang tanpa pernah kalah, membuat saya dengan cepat meroket menjadi penantang bagi Joe Frazier. Saat itu Joe Frazier bagaikan ‘dewa tinju’. tidak seorangpun saat itu terpikir bahwa dia bisa kalah.
Saya ingat, saat bel tanda ronde pertama dimulai, masih jelas terngiang di telinga saya, dan bagaimana Joe dengan cepat datang dengan nafsu membunuhnya. Namun hal itu tidak membuat saya takut, saya membalas setiap pukulannya dengan sekuat tenaga, sehingga dia pun bertekuk lutut, KO. Itu adalah peristiwa paling membahagiakan dalam karier bertinju saya.
Tidak lama saya mempertahankan gelar juara dunia, dan membantai lawan-lawan saya di atas ring. Tahun 1974, di Zaire (Afrika), saya harus berhadapan dengan Muhammad Ali, pertarungan yang diberik nama “Rumble in the Jungle”. Ali mengetahui kemarahan adalah kunci kelemahan saya. Untuk itu Ali memanfaatkan hal tersebut dengan terus membuat pernyataan yang merendahkan saya di media-media. Hal itu membuat saya gelisah dan murka, ingin segera rasanya menghajarnya di atas ring.
Kepercayaan diri saya saat itu terlalu besar, karena saya baru saja menghajar KO Ken Norton, orang yang menghajar Ali KO dalam 2 ronde. Bagaimana bisa Ali sesumbar seperti itu?
Saya begitu marah, dan telah meremehkannya. Pada pertandingan tersebut saya terus memukulnya dengan sekuat tenaga, saya ingin mengakhiri Ali secepat mungkin.
Namun Ali terus bertahan dan tidak bergeming membuat saya kehabisan tenaga. Pada ronde ke delapan, saat saya memukulnya di lambung, Ali menyadari pukulan saya sudah lemah, dan dia bertanya, “Hanya itu yang kau miliki George?”. Kemudian diapun langsung membalas dengan cepat, dan yang saya ingat hanyalah suara wasit menghitung saya.
Tapi bukan pertarungan itu yang mengubah hidup saya. Pertarungan tinju paling penting dalam kehidupan saya adalah saat melawan Jimmy Young di Puerto Rico, 17 Maret 1977. Saat itu saya sedang berusaha merebut gelar juara dunia kembali. Tapi pertarungan saat itu paling berat, berakhir dua belas ronde dengan keputusan wasit saya kalah. Saya dibawa masuk ke ruangan ganti dengan setengah pingsan, lambung saya terasa sangat sakit karena pertarungan tadi. Saya duduk bersandar di locker dikelilingi pelatih dan para official sambil berteriak-teriak “Rematch! Rematach…!” (pertandingan ulang). Saat keributan terus berlangsung di sekitar saya, pandangan dan pendengaran saya menjadi kabur perlahan, dan semuanya menjadi gelap gulita. Dalam kegelapan itu saya mendengarkan sebuah suara berkata: “Kalau engkau percaya pada Tuhan, mengapa engkau begitu takut?”. Kaget saya mendengar suara itu, kemudian dengan marah saya menjawabnya: “Siapa bilang saya takut? Siapa yang menyebut-nyebut Tuhan?”.
Lalu saya mengatakan pada suara itu bagaimana saya harus keluar dari kemiskinan ini, hanya dengan usaha keras saya sendiri, dan bagaimana saya harus berjaya dengan kekuatan saya. Suara itu diam, dan perlahan muncul ketakutan yang besar dalam hati saya, sebuah perasaan kematian. Saya merasa akan mati, ini adalah akhir dari semuanya.Saya mencoba tawar menawar dengan suara itu, “Saya adalah George Foreman, biarkanlah saya hidup, maka saya akan banyak menyumbang untuk amal.”
Suara itu menjawab, “Saya tidak mau uangmu George, saya menginginkan engkau!”
Saya bertambah ketakutan, karena saya tidak pernah tahu ada orang yang menganggap uang tidak berharga.
Kegelapan itu menarik saya semakin dalam, semakin gelap dan semakin dalam lagi. Suara itu mengatakan, inilah rasanya maut itu, gelap…, kosong…, sendirian…, dan itu akan berlangsung selamanya…
Kemudian saya mendengar suara berisik, orang-orang yang berteriak-teriak. Semakin lama semakin jelas, perlahan pandangan saya melihat orang-orang di sekitar saya. Ternyata saya sudah kembali ke ruang ganti.
Banyak orang mengelilingi saya, sambil bertanya dengan nada cemas; “Kamu baik-baik saja, jagoan?”
Saya menjawab, “Apakah saya baik-baik saja? Saya aadalah orang yang baru!”. Saya merasa diri saya berubah, saya merasa diri saya orang lain, perasaan ini sungguh luar biasa, tidak dapat saya jelaskan dengan kata-kata. Saya merasa dibebaskan, saya merasa dilepaskan, tubuh saya terasa sangat ringan. Saya dilepaskan dari kemarahan dan kebencian yang selama ini merasuki saya.
Saya mengerti sekarang apa hidup itu. Ini tidak ada hubungannya dengan tinju, tidak ada hubungannya dengan mengejar gelar juara. Ini semua mengenai TUHAN! Tentang cintaNya dan pengampunanNya. Saya langsung menciup semua orang-orang di situ sambil berkata, “Saya mengasihimu, Tuhan mengasihimu!”. Ada sebua perasaan kasih yang besar, keluar dari hati saya bagaikan gelombang. Membuat saya tidak bisa diam untuk tidak mengatakannya. 30 tahun setelah hari itu, saya lebih terkenal sebagai koki daripada mantan juara dunia tinju. Memiliki acara masak sendiri di televisi, dan 55 juta peralatan panggang dengan merek nama saya laku terjual di seluruh dunia. Itu belum termasuk kaos, saus, aftershave, pembersih rumah tangaa, dan berbagai merchandise lain, semua dengan merek nama saya. Orang berpikir saya kaya karena bertinju. Mereka salah, seluruh penghasilan saya dalam bertinju seumur hidup jauh lebih kecil dengan nialai kontrak peralatan panggang yang saya buat.
Tuhan memberkati saya melimpah justru saat saya bertobat, undur dari dunia tinju dan melayaniNya sepenuh hati. Sejak hari pertarungan dengan Jimmy Young itu, saya menggantung sarung tinju saya, dan mulai rajin pergi ke gereja. Awalnya saya hanya duduk bersembunyi di pojok gereja, tidak ingin siapapun tahu saya ada di situ.
Namun saat mereka menyadari kehadiran saya, mereka menyuruh saya bersaksi di depan jemaat. Saya yang terbiasa bertinju ditonton oleh jutaan orang, kali ini di depan sedikit jemaat saya berbicara dengan kaki gemetar. Tidak lama setelah itu saya melayani sepenuh waktu dengan menjadi pendeta, membangun gereja di lingkungan di mana saya dibesarkan, Saya kini memiliki pertarungan yang berbeda, yaitu melawan kemiskinan, rumah tangga yang hancur, kenakalan remaja, penyakit mematikan, tekanan mental dan banyak problem lain. Setiap kali berhasil menang terhadap masalah itu, rasanya jauh lebih luar biasa daripada menang KO.
Tahun 1983, saudara saya mendirikan tempat latihan tinju, dan dia mengundang saya untuk datang ke sana. Namun saya selalu menolaknya, karena saya tidak ingin jemaat melihat saya dekat dengan ring tinju.
Suatu kali tidak sengaja saya harus singgah di gym itu. Di sana saya melihat seorang ibu, dan anak remajanya berusia sekitar 15 tahun. Mereka melihat saya dengan penuh harap, dan ingin berbicara pada saya. Saya tahu cerita mereka akan kemana, karena saya melihat diri saya sendiri dan ibu saya pada diri mereka. Ibu itu pasti akan bercerita bagaimana miskinnya hidup mereka dan mengenai anaknya yang selalu terlibat dalam masalah, dan pasti ia ingin agar saya melatih anaknya bertinju dan mengarahkannya.
Saya berusaha menghindar bercakap-cakap dengan mereka, dan saya pun pergi meninggalkan mereka dengan sebuah perasaan bersalah. Tidak lama setelah itu saya menelpon Roy untuk menanyakan keadaan anak itu, dan Roy berkata bahwa anak itu sudah masuk penjara.
Mendengar hal itu membuat saya merasa dihajar sebuah pukulan yang sangat keras dan membuat saya KO. Ya Tuhan… trauma saya pada ring telah membuat satu jiwa tersesat jauh. Sejak saya melayani Tuhan, saya mau kemana saja Tuhan perintahkan untuk pergi, ke penjara, rumah sakit, pedalaman, sampai unung duniapun saya mau pergi, kecuali satu tempat – ring tinju. Pada saat itu saya mendengar Tuhan berkata, “Sekarang saatnya George, bawa aku ke sana…”
Kembalinya saya ke ring tinju membuat dunia gempar, mereka menahan napas saat saya bertarung dengan anak-anak muda yang memiliki kecepatan dan kekuatan jauh berbeda dari orang seumur saya. Bagi mereka mustahil seorang tua berumur 40an tahun mampu bertinju lagi.
Tapi saya membuktikan bahwa semua perhitungan dunia adalah salah. Pada usia hampir 50 tahun saya kembali merebut gelar juara dunia, dan dinobatkan sebagai petinju tertua yang pernah meraih gelar juara dunia.
Saya menekuk Michael Moore KO pada ronde ke-10, padahal dia baru menaklukkan Evander Holyfield.
Dan saya menyatukan seluruh gelar juara badan dunia, yaitu WBA, WBC dan IBF.
Selanjutnya gelar juara itu tidak pernah direbut dari dari saya, tapi saya sendirilah yang menyerahkan sabuk itu, yaitu pada orang yang telah saya kalahkan (Axel Schultz). Dan kemudian saya mengundurkan diri lagi dari dunia tinju.
Mereka tidak habis pikir bagaimana orang setua saya bisa melakukannya, saat seharusnya tidak ada lagi kekuatan orang muda tersisa dalam diri saya ini.
“Hanya satu jawabnya, hanya satu kekuatan yang membuat tubuh tua ini bangkit menjadi pemenang, yaitu kekuatan dari Tuhan. Bukan kuat gagah saya, melainkan karena Roh Tuhan ada dalam diri saya.”
Saya ingin bagikan pada saudara Firman Tuhan yang sangat penting dalam kehidupan kita terutama saat bertinju. Yaitu, “Lebih baik memberi daripada diberi. Berilah sebelum kita diberi…”
Tumbuh dalam kemiskinan seperti itu membuat kebencian dan amarah tumbuh subur dalam hati saya. Sehingga semuanya itu saya salurkan dengan berlatih tinju secara keras. Tidak lama hasil latihan itu membuat saya mendapatkan medali emas olimpiade kelas berat pada tahun 1968.
Pindah ke jalur profesional, kemarahan dan kebencian membuat saya bagaikan binatang buas menghancurkan siapa saja yang melawan kebanyakan lawan saya KO sebelum ronde ketiga. Rekor 32 kali menang tanpa pernah kalah, membuat saya dengan cepat meroket menjadi penantang bagi Joe Frazier. Saat itu Joe Frazier bagaikan ‘dewa tinju’. tidak seorangpun saat itu terpikir bahwa dia bisa kalah.
Saya ingat, saat bel tanda ronde pertama dimulai, masih jelas terngiang di telinga saya, dan bagaimana Joe dengan cepat datang dengan nafsu membunuhnya. Namun hal itu tidak membuat saya takut, saya membalas setiap pukulannya dengan sekuat tenaga, sehingga dia pun bertekuk lutut, KO. Itu adalah peristiwa paling membahagiakan dalam karier bertinju saya.
Tidak lama saya mempertahankan gelar juara dunia, dan membantai lawan-lawan saya di atas ring. Tahun 1974, di Zaire (Afrika), saya harus berhadapan dengan Muhammad Ali, pertarungan yang diberik nama “Rumble in the Jungle”. Ali mengetahui kemarahan adalah kunci kelemahan saya. Untuk itu Ali memanfaatkan hal tersebut dengan terus membuat pernyataan yang merendahkan saya di media-media. Hal itu membuat saya gelisah dan murka, ingin segera rasanya menghajarnya di atas ring.
Kepercayaan diri saya saat itu terlalu besar, karena saya baru saja menghajar KO Ken Norton, orang yang menghajar Ali KO dalam 2 ronde. Bagaimana bisa Ali sesumbar seperti itu?
Saya begitu marah, dan telah meremehkannya. Pada pertandingan tersebut saya terus memukulnya dengan sekuat tenaga, saya ingin mengakhiri Ali secepat mungkin.
Namun Ali terus bertahan dan tidak bergeming membuat saya kehabisan tenaga. Pada ronde ke delapan, saat saya memukulnya di lambung, Ali menyadari pukulan saya sudah lemah, dan dia bertanya, “Hanya itu yang kau miliki George?”. Kemudian diapun langsung membalas dengan cepat, dan yang saya ingat hanyalah suara wasit menghitung saya.
Tapi bukan pertarungan itu yang mengubah hidup saya. Pertarungan tinju paling penting dalam kehidupan saya adalah saat melawan Jimmy Young di Puerto Rico, 17 Maret 1977. Saat itu saya sedang berusaha merebut gelar juara dunia kembali. Tapi pertarungan saat itu paling berat, berakhir dua belas ronde dengan keputusan wasit saya kalah. Saya dibawa masuk ke ruangan ganti dengan setengah pingsan, lambung saya terasa sangat sakit karena pertarungan tadi. Saya duduk bersandar di locker dikelilingi pelatih dan para official sambil berteriak-teriak “Rematch! Rematach…!” (pertandingan ulang). Saat keributan terus berlangsung di sekitar saya, pandangan dan pendengaran saya menjadi kabur perlahan, dan semuanya menjadi gelap gulita. Dalam kegelapan itu saya mendengarkan sebuah suara berkata: “Kalau engkau percaya pada Tuhan, mengapa engkau begitu takut?”. Kaget saya mendengar suara itu, kemudian dengan marah saya menjawabnya: “Siapa bilang saya takut? Siapa yang menyebut-nyebut Tuhan?”.
Lalu saya mengatakan pada suara itu bagaimana saya harus keluar dari kemiskinan ini, hanya dengan usaha keras saya sendiri, dan bagaimana saya harus berjaya dengan kekuatan saya. Suara itu diam, dan perlahan muncul ketakutan yang besar dalam hati saya, sebuah perasaan kematian. Saya merasa akan mati, ini adalah akhir dari semuanya.Saya mencoba tawar menawar dengan suara itu, “Saya adalah George Foreman, biarkanlah saya hidup, maka saya akan banyak menyumbang untuk amal.”
Suara itu menjawab, “Saya tidak mau uangmu George, saya menginginkan engkau!”
Saya bertambah ketakutan, karena saya tidak pernah tahu ada orang yang menganggap uang tidak berharga.
Kegelapan itu menarik saya semakin dalam, semakin gelap dan semakin dalam lagi. Suara itu mengatakan, inilah rasanya maut itu, gelap…, kosong…, sendirian…, dan itu akan berlangsung selamanya…
Kemudian saya mendengar suara berisik, orang-orang yang berteriak-teriak. Semakin lama semakin jelas, perlahan pandangan saya melihat orang-orang di sekitar saya. Ternyata saya sudah kembali ke ruang ganti.
Banyak orang mengelilingi saya, sambil bertanya dengan nada cemas; “Kamu baik-baik saja, jagoan?”
Saya menjawab, “Apakah saya baik-baik saja? Saya aadalah orang yang baru!”. Saya merasa diri saya berubah, saya merasa diri saya orang lain, perasaan ini sungguh luar biasa, tidak dapat saya jelaskan dengan kata-kata. Saya merasa dibebaskan, saya merasa dilepaskan, tubuh saya terasa sangat ringan. Saya dilepaskan dari kemarahan dan kebencian yang selama ini merasuki saya.
Saya mengerti sekarang apa hidup itu. Ini tidak ada hubungannya dengan tinju, tidak ada hubungannya dengan mengejar gelar juara. Ini semua mengenai TUHAN! Tentang cintaNya dan pengampunanNya. Saya langsung menciup semua orang-orang di situ sambil berkata, “Saya mengasihimu, Tuhan mengasihimu!”. Ada sebua perasaan kasih yang besar, keluar dari hati saya bagaikan gelombang. Membuat saya tidak bisa diam untuk tidak mengatakannya. 30 tahun setelah hari itu, saya lebih terkenal sebagai koki daripada mantan juara dunia tinju. Memiliki acara masak sendiri di televisi, dan 55 juta peralatan panggang dengan merek nama saya laku terjual di seluruh dunia. Itu belum termasuk kaos, saus, aftershave, pembersih rumah tangaa, dan berbagai merchandise lain, semua dengan merek nama saya. Orang berpikir saya kaya karena bertinju. Mereka salah, seluruh penghasilan saya dalam bertinju seumur hidup jauh lebih kecil dengan nialai kontrak peralatan panggang yang saya buat.
Tuhan memberkati saya melimpah justru saat saya bertobat, undur dari dunia tinju dan melayaniNya sepenuh hati. Sejak hari pertarungan dengan Jimmy Young itu, saya menggantung sarung tinju saya, dan mulai rajin pergi ke gereja. Awalnya saya hanya duduk bersembunyi di pojok gereja, tidak ingin siapapun tahu saya ada di situ.
Namun saat mereka menyadari kehadiran saya, mereka menyuruh saya bersaksi di depan jemaat. Saya yang terbiasa bertinju ditonton oleh jutaan orang, kali ini di depan sedikit jemaat saya berbicara dengan kaki gemetar. Tidak lama setelah itu saya melayani sepenuh waktu dengan menjadi pendeta, membangun gereja di lingkungan di mana saya dibesarkan, Saya kini memiliki pertarungan yang berbeda, yaitu melawan kemiskinan, rumah tangga yang hancur, kenakalan remaja, penyakit mematikan, tekanan mental dan banyak problem lain. Setiap kali berhasil menang terhadap masalah itu, rasanya jauh lebih luar biasa daripada menang KO.
Tahun 1983, saudara saya mendirikan tempat latihan tinju, dan dia mengundang saya untuk datang ke sana. Namun saya selalu menolaknya, karena saya tidak ingin jemaat melihat saya dekat dengan ring tinju.
Suatu kali tidak sengaja saya harus singgah di gym itu. Di sana saya melihat seorang ibu, dan anak remajanya berusia sekitar 15 tahun. Mereka melihat saya dengan penuh harap, dan ingin berbicara pada saya. Saya tahu cerita mereka akan kemana, karena saya melihat diri saya sendiri dan ibu saya pada diri mereka. Ibu itu pasti akan bercerita bagaimana miskinnya hidup mereka dan mengenai anaknya yang selalu terlibat dalam masalah, dan pasti ia ingin agar saya melatih anaknya bertinju dan mengarahkannya.
Saya berusaha menghindar bercakap-cakap dengan mereka, dan saya pun pergi meninggalkan mereka dengan sebuah perasaan bersalah. Tidak lama setelah itu saya menelpon Roy untuk menanyakan keadaan anak itu, dan Roy berkata bahwa anak itu sudah masuk penjara.
Mendengar hal itu membuat saya merasa dihajar sebuah pukulan yang sangat keras dan membuat saya KO. Ya Tuhan… trauma saya pada ring telah membuat satu jiwa tersesat jauh. Sejak saya melayani Tuhan, saya mau kemana saja Tuhan perintahkan untuk pergi, ke penjara, rumah sakit, pedalaman, sampai unung duniapun saya mau pergi, kecuali satu tempat – ring tinju. Pada saat itu saya mendengar Tuhan berkata, “Sekarang saatnya George, bawa aku ke sana…”
Kembalinya saya ke ring tinju membuat dunia gempar, mereka menahan napas saat saya bertarung dengan anak-anak muda yang memiliki kecepatan dan kekuatan jauh berbeda dari orang seumur saya. Bagi mereka mustahil seorang tua berumur 40an tahun mampu bertinju lagi.
Tapi saya membuktikan bahwa semua perhitungan dunia adalah salah. Pada usia hampir 50 tahun saya kembali merebut gelar juara dunia, dan dinobatkan sebagai petinju tertua yang pernah meraih gelar juara dunia.
Saya menekuk Michael Moore KO pada ronde ke-10, padahal dia baru menaklukkan Evander Holyfield.
Dan saya menyatukan seluruh gelar juara badan dunia, yaitu WBA, WBC dan IBF.
Selanjutnya gelar juara itu tidak pernah direbut dari dari saya, tapi saya sendirilah yang menyerahkan sabuk itu, yaitu pada orang yang telah saya kalahkan (Axel Schultz). Dan kemudian saya mengundurkan diri lagi dari dunia tinju.
Mereka tidak habis pikir bagaimana orang setua saya bisa melakukannya, saat seharusnya tidak ada lagi kekuatan orang muda tersisa dalam diri saya ini.
“Hanya satu jawabnya, hanya satu kekuatan yang membuat tubuh tua ini bangkit menjadi pemenang, yaitu kekuatan dari Tuhan. Bukan kuat gagah saya, melainkan karena Roh Tuhan ada dalam diri saya.”
Saya ingin bagikan pada saudara Firman Tuhan yang sangat penting dalam kehidupan kita terutama saat bertinju. Yaitu, “Lebih baik memberi daripada diberi. Berilah sebelum kita diberi…”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar