Ada
satu kebiaasaan yang dilakukan oleh umat Kristiani di seluruh dunia dalam
menyambut Natal. Dari sekian banyak kebiasaan itu adalah mendekorasi pohon
Natal. Hampir setiap rumah bisa ditemukan yang namanya pohon Natal. Kebiasaan memasang
pohon Natal sebagai dekorasi dimulai dari Negara Jerman. Umumnya pohon Natal terbuat
dari pohon cemara pada bada ke-16. Menurut cerita ketika penduduk Jerman
menyebar ke berbagai wilayah termasuk Amerika. Merekapun kerap kali memasang cemara untuk dekorasi Natal. Dari catatan yang ada, orang Jerman di
Pennsylvania, Amerika Serikat memajang pohon natal untuk pertama kalinya pada
tahun 1830-an. Saat ini pohon Natal sudah banyak yang tidak pakai pohon cemara
namun tetap mengadopsi bentuk pohon cemara. Bisa ditemukan banyak pohon Natal
yang terbuat dari plastik.
Pohon-pohon Natal sudah menjadi sesuatu yang
biasa ditemukan baik di pusat perbelanjaan atau ditempat-tempat umum lainnya. Konon pohon Natal yang terbuat dari cemara melambangkan “hidup kekal”sebab pada
umumnya di musim salju hampir semua pohon rontok daunnya, kecuali pohon cemara
yang selalu hijau daunnya. Salah satu yang terbesar adalah pohon yang ada di Rockefeller
Center di 5th Avenue New York Amerika Serikat dan pada tanggal 30 November 2013
Brazil telah membuat Natal terapung terbesar di dunia.Pohon terbuat dari logam
di laguna Rodrigo de Freitas di Kota Rio itu dinyalakan dengan lebih dari tiga
juta lampu dan menjulang setinggi 85 meter, atau setara dengan gedung 27 lantai.
Menurut salah satu cerita, Kisah Pohon Natal merupakan
bagian dari riwayat hidup St. Bonifasius, yang nama aslinya adalah Winfrid. St.
Bonifasius dilahirkan sekitar tahun 680 di Devonshire, Inggris. Pada usia lima
tahun, ia ingin menjadi seorang biarawan; ia masuk sekolah biara dekat Exeter
dua tahun kemudian. Pada usia empatbelas tahun, ia masuk biara di Nursling
dalam wilayah Keuskupan Winchester. St. Bonifasius seorang yang giat belajar,
murid abas biara yang berpengetahuan luas, Winbert. Kelak, Bonifasius menjadi
pimpinan sekolah tersebut. Pada waktu itu, sebagian besar penduduk Eropa utara dan tengah masih
belum mendengar tentang Kabar Gembira. St. Bonifasius memutuskan untuk menjadi
seorang misionaris bagi mereka. Setelah satu perjuangan singkat, ia mohon
persetujuan resmi dari Paus St. Gregorius II. Bapa Suci menugaskannya untuk
mewartakan Injil kepada orang-orang Jerman. (Juga pada waktu itu St. Bonifasius
mengubah namanya dari Winfrid menjadi Bonifasius). St. Bonifasius menjelajah
Jerman melalui pegunungan Alpen hingga ke Bavaria dan kemudian ke Hesse dan
Thuringia. Pada tahun 722, paus mentahbiskan St. Bonifasius sebagai uskup
dengan wewenang meliputi seluruh Jerman. Ia tahu bahwa tantangannya yang
terbesar adalah melenyapkan takhayul kafir yang menghambat diterimanya Injil
dan bertobatnya penduduk. Dikenal sebagai “Rasul Jerman”, St. Bonifasius terus
mewartakan Injil hingga ia wafat sebagai martir pada tahun 754. Marilah kita
memulai cerita kita tentang Pohon Natal. Dengan rombongan pengikutnya yang setia, St.
Bonifasius sedang melintasi hutan dengan menyusuri suatu jalan setapak Romawi
kuno pada suatu Malam Natal. Salju menyelimuti permukaan tanah dan menghapus
jejak-jejak kaki mereka. Mereka dapat melihat napas mereka dalam udara yang
dingin menggigit. Meskipun beberapa di antara mereka mengusulkan agar mereka
segera berkemah malam itu, St. Bonifasius mendorong mereka untuk terus maju
dengan berkata, “Ayo, saudara-saudara, majulah sedikit lagi. Sinar rembulan
menerangi kita sekarang ini dan jalan setapak enak dilalui. Aku tahu bahwa
kalian capai; dan hatiku sendiri pun rindu akan kampung halaman di Inggris, di
mana orang-orang yang aku kasihi sedang merayakan Malam Natal. Oh, andai saja
aku dapat melarikan diri dari lautan Jerman yang liar dan berbadai ganas ini ke
dalam pelukan tanah airku yang aman dan damai! Tetapi, kita punya tugas yang
harus kita lakukan sebelum kita berpesta malam ini. Sebab sekarang inilah Malam
Natal, dan orang-orang kafir di hutan ini sedang berkumpul dekat pohon Oak
Geismar untuk memuja dewa mereka, Thor; hal-hal serta perbuatan-perbuatan aneh
akan terjadi di sana, yang menjadikan jiwa mereka hitam. Tetapi, kita diutus
untuk menerangi kegelapan mereka; kita akan mengajarkan kepada saudara-saudara
kita itu untuk merayakan Natal bersama kita karena mereka belum mengenalnya.
Ayo, maju terus, dalam nama Tuhan!” Mereka pun terus melangkah maju dengan dikobarkan kata-kata semangat St.
Bonifasius. Sejenak kemudian, jalan mengarah ke daerah terbuka. Mereka melihat
rumah-rumah, namun tampak gelap dan kosong. Tak seorang pun kelihatan. Hanya
suara gonggongan anjing dan ringkikan kuda sesekali memecah keheningan. Mereka
berjalan terus dan tiba di suatu tanah lapang di tengah hutan, dan di sana
tampaklah pohon Oak Kilat Geismar yang keramat. “Di sini,” St. Bonifasius
berseru sembari mengacungkan tongkat uskup berlambang salib di atasnya, “di
sinilah pohon oak Kilat; dan di sinilah salib Kistus akan mematahkan palu sang
dewa kafir Thor.” Di
depan pohon oak itu ada api unggun yang sangat besar. Percikan-percikan apinya
menari-nari di udara. Warga desa mengelilingi api unggun menghadap ke pohon
keramat. St. Bonifasius menyela pertemuan mereka, “Salam, wahai putera-putera
hutan! Seorang asing mohon kehangatan api unggunmu di malam yang dingin.”
Sementara St. Bonifasius dan para pengikutnya mendekati api unggun, mata orang-orang
desa menatap orang-orang asing ini. St. Bonifasius melanjutkan, “Aku saudaramu,
saudara bangsa German, berasal dari Wessex, di seberang laut. Aku datang untuk
menyampaikan salam dari negeriku, dan menyampaikan pesan dari Bapa-Semua, yang
aku layani.”
Hunrad, pendeta tua dewa Thor,
menyambut St. Bonifasius beserta para pengikutnya. Hunrad kemudian berkata
kepada mereka, “Berdirilah di sini, saudara-saudara, dan lihatlah apa yang
membuat dewa-dewa mengumpulkan kita di sini! Malam ini adalah malam kematian
dewa matahari, Baldur yang Menawan, yang dikasihi para dewa dan manusia. Malam
ini adalah malam kegelapan dan kekuasaan musim dingin, malam kurban dan
kengerian besar. Malam ini Thor yang agung, dewa kilat dan perang, kepada siapa
pohon oak ini dikeramatkan, sedang berduka karena kematian Baldur, dan ia marah
kepada orang-orang ini sebab mereka telah melalaikan pemujaan kepadanya. Telah
lama berlalu sejak sesaji dipersembahkan di atas altarnya, telah lama sejak
akar-akar pohonnya yang keramat disiram dengan darah. Sebab itu daun-daunnya
layu sebelum waktunya dan dahan-dahannya meranggas hingga hampir mati. Sebab
itu, bangsa-bangsa Slav dan Saxon telah mengalahkan kita dalam pertempuran.
Sebab itu, panenan telah gagal, dan gerombolan serigala memporak-porandakan
kawanan ternak, kekuatan telah menjauhi busur panah, gagang-gagang tombak
menjadi patah, dan babi hutan membinasakan pemburu. Sebab itu, wabah telah
menyebar di rumah-rumah tinggal kalian, dan jumlah mereka yang tewas jauh lebih
banyak daripada mereka yang hidup di seluruh dusun-dusunmu. Jawablah aku, hai
kalian, tidakkah apa yang kukatakan ini benar?” Orang banyak menggumamkan
persetujuan mereka dan mereka mulai memanjatkan puji-pujian kepada Thor.
Ketika suara-suara itu telah reda, Hunrad mengumumkan, “Tak satu pun dari
hal-hal ini yang menyenangkan dewa. Semakin berharga persembahan yang akan
menghapuskan dosa-dosa kalian, semakin berharga embun merah yang akan memberi
hidup baru bagi pohon darah yang keramat ini. Thor menghendaki persembahan
kalian yang paling berharga dan mulia.”
Dengan
itu, Hunrad menghampiri anak-anak, yang dikelompokkan tersendiri di sekeliling
api unggun. Ia memilih seorang anak laki-laki yang paling elok, Asulf, putera
Duke Alvold dan isterinya, Thekla, lalu memaklumkan bahwa anak itu akan
dikurbankan untuk pergi ke Valhalla guna menyampaikan pesan rakyat kepada Thor.
Orang tua Asulf terguncang hebat. Tetapi, tak seorang pun berani berbicara. Hunrad
menggiring anak itu ke sebuah altar batu yang besar antara pohon oak dan api
unggun. Ia mengenakan penutup mata pada anak itu dan menyuruhnya berlutut dan
meletakkan kepalanya di atas altar batu. Orang-orang bergerak mendekat, dan St.
Bonifasius menempatkan dirinya dekat sang pendeta. Hunrad kemudian mengangkat
tinggi-tinggi palu dewa Thor keramat miliknya yang terbuat dari batu hitam,
siap meremukkan batok kepala Asulf yang kecil dengannya. Sementara palu
dihujamkan, St. Bonifasius menangkis palu itu dengan tongkat uskupnya sehingga
palu terlepas dari tangan Hunrad dan patah menjadi dua saat menghantam altar
batu. Suara decak kagum dan sukacita membahana di udara. Thekla lari menjemput
puteranya yang telah diselamatkan dari kurban berdarah itu lalu memeluknya
erat-erat.
St.
Bonifasius, dengan wajahnya bersinar, berbicara kepada orang banyak,
“Dengarlah, wahai putera-putera hutan! Tidak akan ada darah mengalir malam ini.
Sebab, malam ini adalah malam kelahiran Kristus, Putera Bapa Semua, Juruselamat
umat manusia. Ia lebih elok dari Baldur yang Menawan, lebih agung dari Odin
yang Bijaksana, lebih berbelas kasihan dari Freya yang Baik. Sebab Ia datang,
kurban disudahi. Thor, si Gelap, yang kepadanya kalian berseru dengan sia-sia,
sudah mati. Jauh dalam bayang-bayang Niffelheim ia telah hilang untuk
selama-lamanya. Dan sekarang, pada malam Kristus ini, kalian akan memulai hidup
baru. Pohon darah ini tidak akan menghantui tanah kalian lagi. Dalam nama
Tuhan, aku akan memusnahkannya.” St. Bonifasius kemudian mengeluarkan kapaknya
yang lebar dan mulai menebas pohon. Tiba-tiba terasa suatu hembusan angin yang
dahsyat dan pohon itu tumbang dengan akar-akarnya tercabut dari tanah dan
terbelah menjadi empat bagian. Di balik pohon oak raksasa itu, berdirilah
sebatang pohon cemara muda, bagaikan puncak menara gereja yang menunjuk ke
surga. St. Bonifasius kembali berbicara kepada warga desa, “Pohon kecil ini,
pohon muda hutan, akan menjadi pohon kudus kalian mulai malam ini. Pohon ini
adalah pohon damai, sebab rumah-rumah kalian dibangun dari kayu cemara. Pohon
ini adalah lambang kehidupan abadi, sebab daun-daunnya senantiasa hijau.
Lihatlah, bagaimana daun-daun itu menunjuk ke langit, ke surga. Biarlah pohon
ini dinamakan pohon kanak-kanak Yesus; berkumpullah di sekelilingnya, bukan di
tengah hutan yang liar, melainkan dalam rumah kalian sendiri; di sana ia akan
dibanjiri, bukan oleh persembahan darah yang tercurah, melainkan
persembahan-persembahan cinta dan kasih.” Maka, mereka mengambil pohon
cemara itu dan membawanya ke desa. Duke Alvold menempatkan pohon di
tengah-tengah rumahnya yang besar. Mereka memasang lilin-lilin di
dahan-dahannya, dan pohon itu tampak bagaikan dipenuhi bintang-bintang. Lalu,
St. Bonifasius, dengan Hundrad duduk di bawah kakinya, menceritakan kisah
Betlehem, Bayi Yesus di palungan, para gembala, dan para malaikat. Semuanya
mendengarkan dengan takjub. Si kecil Asulf, duduk di pangkuan ibunya, berkata,
“Mama, dengarlah, aku mendengar para malaikat itu bernyanyi dari balik pohon.”
Sebagian orang percaya apa yang dikatakannya benar; sebagian lainnya mengatakan
bahwa itulah suara nyanyian yang dimadahkan oleh para pengikut St. Bonifasius,
“Kemuliaan bagi Allah di tempat mahatinggi, dan damai di bumi; rahmat dan
berkat mengalir dari surga kepada manusia mulai dari sekarang sampai
selama-lamanya.”
Terlepas
dari kisah diatas marilah kita merayakan Natal dengan hati yang tulus. Tanpa hura-hura,
mabuk-mabukan dan hal-hal duniawi lainnya. Selamat Natal 25 Desember 2013 &
Selamat Menyongsong Tahun baru 2014 – RYP
Tidak ada komentar:
Posting Komentar